PEMERINTAHAN - Mari kita duduk sejenak dan berbicara dari hati ke hati. Sebuah pertanyaan sederhana tapi menusuk dalam muncul di kepala kita semua. Jika negara tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya, sebenarnya apa fungsi negara itu sendiri? Untuk apa kita bekerja keras, membayar pajak, dan menyaksikan kekayaan alam melimpah, jika hasilnya tak pernah kembali kepada kita?
Bayangkan seorang petani kecil di pelosok desa, yang setiap pagi menapak tanah basah untuk menanam padi. Ia tahu, ia bekerja bukan hanya untuk keluarganya, tapi juga untuk negara. Pajak dari hasil taninya, meski kecil, tetap ia bayarkan. Lalu, ia bertanya dalam diam, "Mengapa jalan menuju sawahku masih berlubang? Mengapa anakku harus berjalan jauh untuk bersekolah, bahkan kadang tanpa buku yang layak? Bukankah aku telah memenuhi tugasku sebagai warga negara?"
Di sisi lain, kita mendengar cerita tentang tambang emas, nikel, minyak bumi, dan gas alam yang dikeruk dari perut bumi Nusantara. Kekayaan ini, katanya, adalah milik rakyat. Namun, apakah benar demikian? Mengapa masih banyak keluarga yang hidup tanpa listrik di dekat tambang besar? Mengapa air bersih begitu sulit diakses di wilayah yang tanahnya justru digali untuk keuntungan?
Pertanyaan ini tidak hanya muncul dari kemarahan. Ini adalah jeritan harapan, bahwa negara—sebuah entitas yang kita bangun bersama dengan keringat dan darah nenek moyang—akan melindungi kita, memberikan kita hak dasar untuk hidup sejahtera. Namun, jika janji itu tak pernah terpenuhi, wajar jika kita bertanya, "Untuk apa semua ini? Untuk apa kita membayar pajak yang terasa seperti beban, jika kesejahteraan tetap menjadi mimpi yang tak kunjung nyata?"
Baca juga:
Bupati Asahan Buka Rakorpem Bulan Juni 2023
|
Sebagai warga negara, kita seharusnya melihat negara seperti orang tua. Ia bekerja untuk memastikan anak-anaknya tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia. Pajak adalah kontribusi kita, sebuah dukungan untuk memastikan mesin negara berjalan. Namun, ketika dukungan itu tak dibalas dengan keadilan, bukankah itu seperti anak yang dipaksa bekerja keras tanpa pernah diberi makan?
Kita tidak meminta negara untuk menjadi sempurna. Kita tahu, mengelola bangsa sebesar ini bukan perkara mudah. Tetapi, yang kita minta sederhana, transparansi, keadilan, dan rasa kepedulian. Jika kekayaan alam dieksploitasi, pastikan hasilnya kembali kepada rakyat. Jika pajak dikumpulkan, pastikan itu membangun sekolah, rumah sakit, dan jalan yang layak. Dan yang terpenting, pastikan bahwa setiap kebijakan dibuat dengan hati yang berpihak pada rakyat, bukan hanya segelintir orang yang sudah terlalu kaya.
Jika negara terus melupakan janji-janji dasarnya, rasa percaya yang menjadi fondasi keberadaannya akan rapuh. Rakyat akan mulai bertanya: Apakah kita masih memiliki negara yang berpihak kepada kita, atau hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa?
Pada akhirnya, ini bukan soal menyalahkan. Ini soal harapan. Kita, sebagai rakyat, berharap negara bisa mendengar, melihat, dan merasakan apa yang kita rasakan. Karena negara bukanlah bangunan besar di ibu kota. Negara adalah kita semua. Dan kesejahteraan rakyat seharusnya menjadi tujuan utama, bukan sekadar janji kosong dalam pidato.
Lalu, jika kita bertanya, "Untuk apa negara ini ada?" Jawabannya seharusnya jelas, untuk memastikan setiap warga negaranya hidup layak, sejahtera, dan bermartabat. Jika tidak, maka negara kehilangan maknanya. Dan saat itu terjadi, kita harus bersatu untuk memperjuangkan kembali hak kita—karena negeri ini adalah milik kita semua.
Jakarta, 25 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi