PERTANIAN - Pagi itu, warung kopi Pak Darto di ujung desa ramai seperti biasa. Asap tipis mengepul dari wajan gorengan, sedangkan bau kopi panas menyeruak di udara. Di pojok ruangan, Pak Manan, seorang petani berusia lima puluhan dengan wajah keriputnya, tengah berbincang santai bersama beberapa petani lain. Topik pembicaraan mereka hari ini, seperti biasa, soal kondisi pertanian, pupuk yang mahal, dan harapan baru sejak Prabowo dilantik sebagai presiden.
“Aku dengar dari radio kemarin, Prabowo janji pupuk bakal lebih mudah didapat dan harganya nggak mencekik lagi, ” ujar Pak Manan sambil menyeruput kopi hitamnya. “Kalian percaya nggak?”
Baca juga:
Prospek Usaha Budidaya Sayuran Hidroponik
|
Pak Tohir, petani padi yang duduk di sebelahnya, hanya tersenyum tipis. “Yah, harapan sih selalu ada, Man. Tapi kita sudah sering denger janji-janji. Tapi ya lihat dulu, bisa nggak beneran terjadi.”
Pak Sudiro, yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba menimpali. “Kalau pupuk bisa murah, itu sudah membantu banyak, Tohir. Tapi yang paling aku harapin sebenarnya harga gabah. Tahun lalu, aku panen banyak, tapi harga jatuh. Cuma sedikit di atas biaya produksiku. Lha, kita kerja capek-capek, hasilnya nggak seberapa.”
“Betul juga, ” sahut Pak Manan. “Kalau gabah dibeli murah terus, kita cuma bisa hidup pas-pasan. Gimana mau nyekolahin anak, biayain kesehatan? Apalagi kalau sakit... aduh, repotnya minta ampun.”
“Aku denger, katanya Prabowo mau bikin layanan kesehatan dan pendidikan gratis buat anak-anak kita, ” kata Pak Tohir dengan nada optimis. “Kalau itu bener, anakku nggak perlu susah payah cari pinjaman buat kuliah.”
“Kalau soal pendidikan gratis, aku setuju banget, ” tambah Pak Manan. “Aku juga pengen anak-anakku nggak harus jadi petani kalau memang mereka mau jadi yang lain. Kalau mereka bisa sekolah tinggi, siapa tahu bisa jadi dokter atau insinyur.”
Pak Sudiro mengangguk. “Yang penting kita nggak cuma mikirin biaya sekolah atau kesehatan. Tapi ya, masalah di kita bukan cuma itu. Jalan ke sawahku rusak parah. Setiap panen, aku harus ngelewatin jalan berlumpur. Hasil panen bisa rusak kalau hujan deras.”
“Iya, masalah jalan itu bikin kita rugi, ” sahut Pak Tohir. “Jalan bagus itu penting. Bukan cuma buat bawa hasil panen, tapi juga buat beli pupuk dan bibit. Kalo jalannya hancur terus, kita terlambat panen, harga gabah udah keburu turun di pasar.”
Suasana sejenak hening. Mereka semua mengangguk setuju, meresapi betapa pentingnya infrastruktur yang memadai.
“Ngomong-ngomong soal irigasi, ” lanjut Pak Manan, “aku denger juga Prabowo janji mau perbaiki sistem irigasi. Katanya kita bisa tanam tiga kali setahun, kalau airnya ada terus.”
Pak Tohir menepuk meja sambil tertawa. “Kalau bisa tanam tiga kali, wah... bisa kaya kita, Man!”
“Jangan bercanda, Tohir, ” canda Pak Sudiro. “Tapi iya, kalau air ada terus, panen lebih sering, penghasilan kita juga lebih stabil. Nggak perlu khawatir lagi nunggu musim hujan datang atau takut sawah kering.”
Obrolan mereka semakin dalam, penuh dengan harapan dan keinginan yang selama ini belum terpenuhi. Mereka tahu, harapan sering kali datang dengan janji-janji manis. Namun kali ini, mereka ingin percaya bahwa Prabowo benar-benar akan mewujudkan apa yang dijanjikan.
“Aku cuma berharap, ” kata Pak Manan sambil menghela napas, “kita nggak cuma jadi bahan omongan politik. Kita ini petani, tulang punggung negara. Kalau petani sejahtera, Indonesia juga sejahtera.”
“Kita lihat aja nanti, Man, ” ujar Pak Tohir sambil menepuk pundaknya. “Semoga kali ini janji-janji itu bukan cuma omong kosong.”
Warung kopi Pak Darto terus ramai, obrolan berlanjut. Petani-petani itu, meski sederhana, tetap memelihara harapan di balik secangkir kopi hitam mereka. Mereka tahu, perjuangan belum usai, tapi dengan kebijakan yang tepat, mungkin, hanya mungkin, harapan mereka akan terwujud. (Hendri Kampai)